Tinggal Kenangan



Dengan mudahnya, kau mendatangi ku lagi. Untuk kesekian kalinya, dalam hari-hariku yang tenang dan damai, tanpamu. Kau kembali, menjadi sosok yang manis, ramah juga baik, seperti saat pertama kita bertemu. Kata-kata manis itu sangat menjanjikan, seolah, harapan masih bisa kugenggam. Namun ternyata, lagi dan lagi, kau kembali mencoreng luka, disudut hati ini. Mengusik hari-hariku dengan rajinnya. Memaksaku untuk kembali menyentuh kenangan, juga mengajariku untuk mengais-ngais masalalu, yang seharusnya telah ku simpan rapi dalam angan.
          Kau selalu berpura-pura dalam topengmu. Bersikap manis dengan kata-kata yang menjanjikan. Mungkin salahku, yang dengan mudahnya percaya akan semua ucapanmu. Kau adalah sosok yang tak ku mengerti, bagaimana akhirnya hati ini memilihmu. Aku telah dibutakan oleh rasaku sendiri. Aku, buta karenamu.

          “Haii.” sapa Randy, dengan manisnya. Jujur, aku muak dengan wajahnya yang memelas jawaban dariku. Aku memandangnya dingin.
          “Udah lama ngga main kesini. Selalu wangi ya, kost-an lo. Boleh masuk ngga?” pintanya. Aku yang kala itu, berdiri diambang pintu, langsung menutup pintu kamar.
          Randy menarik nafas berat, melihat sikapku. “Engg, gue mau ngajak lo keluar. Lo ngga sibuk kan?” tanyanya.
          “Gue ada urusan. Kalo ngga ada yang diomongin lagi, mendingan lo pulang. Gue mau pergi.” jawabku, mencoba seramah mungkin padanya. Lagi-lagi, kulihat Randy kembali menarik nafas. Kulewati dirinya, yang terdiam kaku diteras kost-ku. 

          Dia meneriaki namaku. Telingaku terasa bising oleh suara seraknya. Dengan perasaan acuh, aku menatap kedepan, menghiraukan betapa keras panggilannya dibelakang sana. Ada apa dia? Dengan beraninya, ia menemuiku seperti ini. Padahal, semua panggilan masuk dan pesan singkatnya tadi, kuabaikan. Malahan, kuubah mode profilku dari medium menjadi silent, karenanya.
          Beberapa hari sebelum putus, memang hubungan kami sempat renggang. Bermula, karena ia yang sibuk dengan segala aktifitas dunianya dan mengabaikanku. Aku dianggap nomor sekian, dari daftar kesibukannya. Dia mulai acuh, tak peduli bahkan cenderung masa bodoh dengan semua tindakanku. Aku bagai boneka dibuatnya. Rasa jenuh mulai menggerogoti hatiku, kecewa, kesal. Jika memilih diam, maka dia akan semakin melunjak. Berdebat juga tak ada gunanya, jika dia lebih mengandalkan logika dibanding perasaan. Aku setuju, dengan persepsi orang yang menyatakan; pria lebih menggunakan logika untuk segala sesuatunya, dibanding perasaan. Namun apa salah, perasaannya juga punya andil terpenting dalam cinta?

--
          Aku menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kampus. Lebih aktif dan menambah UKM yang kuminati, juga mengisi waktu luang dengan magang disebuah book store dekat kost-anku. Aku berada dibagian komik, sederet komik tepatnya. Terbesit sebuah keingintahuan, kuambil komik Conan yang tersusun rapi didepanku. Ini lanjutan dari komik sebelumnya, yang Randy belikan untukku. Ah? Siapa yang kusebut itu? Hmm, ya Randy. Aku ingin bercerita sedikit, tentang waktu itu. Dulu kami pernah ke toko ini, mencari beberapa keperluan tugas kuliah Randy. Dan, sebagai imbalannya, ia membelikan aku dua buah komik Conan, kesukaanku.
          Randy yang kukenal dulu, memanglah baik. Aku baru tahu, ternyata aku dan dia mempunyai hobby yang sama, yakni, travelling. Dia pernah mengajakku pergi keliling Bandung dengan mobilnya, selama beberapa hari. Aku ingat akan hal itu. Ah tidak! Kenapa aku harus mengingatnya? pikirku, lalu kutaruh komik, yang baru beberapa lembar kubaca. Sentuhan lembut dibahu, membuyarkan semua lamunanku.

          “Maaf Mba, Conan vol. 12-16 dimana ya?” tanya seseorang yang menyentuh bahuku. Aku menoleh kearahnya, ternyata Randy, ia berdiri dengan tegapnya, mengenakan jaket kulit coklat, cool sekali. Kutahan rasa kecewa akan dirinya, berusaha bersikap professional akan tugasku sekarang.
          “Astaga, Tiara.. Lo kerja disini?” Randy kaget memandangku, yang mengenakan pakaian seragam seperti karyawan lainnya. Aku memandangnya datar, lalu mencari komik pesanannya.
          “Nih komik lo.” aku menyerahkan beberapa komik pesanannya. Lalu meninggalkannya.
          “Gue ngga tega, liat lo kerja Ra.” ucapnya, yang membuntutiku. “Oh iya Ra, sebenernya gue mau ke kost-an lo, mau nganterin ini, kita malah ketemu disini ternyata. “ ungkapnya.

          Aku berjalan lurus kedepan, menghiraukan apa yang dia ucapkan tadi. Kubawa dia kekasir agar ia membayar semua komiknya, lalu aku kembali bekerja dan menyuruhnya pulang.

--
          Pagi ini tugasku usai. Tak ada kelas lagi, tak ada UKM, aku tenang hari ini. Untuk melepas lelah, juga menemani rasa sepiku, aku pergi ke kantin, membeli beberapa cemilan, softdrink dan french fries balado, lalu kupergi ke taman kampus untuk menulis laporan proposal magangku dinotebook.
          Baru saja beberapa lembar menulis laporan, lagi-lagi dan lagi, Randy muncul dihadapanku. Aku menghela nafas berat. Kubenamkan wajahku dalam notebook karena ocehan Randy. Ia mulai mengoceh panjang lebar tentang kemarin. Lalu membuka tas ranselnya, mengeluarkan beberapa komik yang ia beli. Ia memberikannya, untukku. Dengan cepat, aku menolaknya, kasar. Aku hampir berdebat dengannya. Kemudian kubuka ranselku, segera kukeluarkan beberapa komik yang pernah ia belikan untukku, kutaruh didepannya.

          “Kenapa sih Ra? Lo jadi gini sama gue. Gue cuma pengen jadi yang lo butuh, gue juga butuh lo Ra. Gue butuh kita. Dan gue harap, kita bisa kaya dulu lagi.” ungkapnya, memerhatikan sikapku.
          “Basi lo! Bisa kan, kita masing-masing aja sekarang. Berenti deh, gangguin gue. Sebelum kenal lo, gue ngga sedingin ini sama orang. Ohya, bawa tuh komik lo, belum gue baca juga kok. Masih rapih.” jawabku dingin.
          “Lo kenapa jadi gini si Ra? Gue ngga ngerti sama lo.” ucapnya.
          “Makanya, sebelum ngertiin orang, ngertiin diri lo dulu. Lo butuh gue karena apa? Lo nyari gue buat apa? Kalo karena kesepian dan buat pelampiasan doang, mending cari oranglain. Status kita, dulu pacaran, tapi dengan santainya lo jalan sama Rena tanpa sepengetahuan gue. Jahat ngga tuh?” tantangku, lalu memasukan notebook kedalam tas. Aku mulai badmood karenanya.
          “…..”
          “Pertama, lo bohongin gue, reuni sama temen SMA lo, tapi disana ada si Rena. Kedua, lo bohongin gue dengan hal yang sama, yang katanya, lo udah ngga deket lagi sama Rena, tapi nyatanya, reuni SMA ada Rena.” jelasku.
          “Ya, diakan temen SMA gue. Wajarlah ada dia.” ucapnya dengan nada sedikit membentak.
          “Calm. Yang gue tau, setiap orang yang udah nyaman dan menjalin hubungan lama sama seseorang lebih dari 3thn, dia ngga akan dengan mudah ngelupain kenangannya, ngga kaya lo. Yang baru beberapa minggu putus, jadian sama gue. Waw!” sindirku, lalu pergi.

          Tangan lembut Randy, berhasil meraih pergelangan tanganku. “Tunggu.. Denger omongan lo barusan, kayanya lo kecewa banget sama gue. Segitu jahatnya ya gue sama lo? Gue bisa jelasin semuanya Ra, gue mau perbaikin hubungan kita Ra.” sanggahnya.
          Kutepis tangannya, “Bagus deh, lo sadar. Mulai sekarang, masing-masing aja yaaaa, lo gausah jelasin apa-apa lagi sama gue. Masalah lo udah bukan urusan gue lagi!” bentakku.
          Randy pasrah dan menyerah, “Okee. Terserah kalo itu mau lo. Tapi tolong lo terima komik ini, semuanya. Ya?” pintanya, memelas, sambil memegang kedua tanganku. Aku menatapnya datar.
          “Ini pake duit gue sendiri loh. Gue ngga pernah beliin cewek komik. Apalagi ini komik kesukaan lo. Jadi, terima ya, komiknya….” desak Randy. Belum sempat aku menjawabnya, ia meletakkan seluruh komik itu ditanganku. Aku memandang kepergiannya. Jauh dan jauh, langkahnya semakin tak terlihat lagi dimataku. Aku tertunduk lesu. Jauh dalam hati ini, rasa kecewaku lebih besar dari rasa sayangku padanya. Aku kecewa pada diriku sendiri; apa terlalu sulit baginya, untuk melupakan masa lalu itu, hingga aku tak pernah bisa membuatnya, mencintaiku?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Titik Balik

Pengorbanan Shilla

Kopi Pahit