Pupus



Aku menyesal mengalami hal ini. Menyesal telah berharap bisa seperti sekarang. Kini, aku tak tau harus berbuat apa dengan yang kurasakan. Aku bersamanya, melewati masa-masa dimana aku selalu merasakan segala keindahan. Menjumpai setiap kenangan yang dulu belum pernah aku temui. Melalui hari-hari yang senantiasa membuatku tersenyum saat bersamanya. Sungguh.. Aku menyesal akan apa yang pernah kuucap, tentang apa yang dulu pernah jadi doaku. Semoga esok, lusa dan seterusnya, tetap ada kami dan kenangan kita.

“Elsa..” seseorang menubruk tempat tidurku. Dia Windy, sahabatku. Sahabat yang selalu senantiasa bersamaku. Di minggu pagi ini, aku menyuruhnya untuk main ke rumah, karena orangtuaku baru saja pergi ke Bandung, subuh tadi.
Aku merebut bantal dolphin milikku, yang tengah dipegangnya, “Salamnya mana woiii! Main masuk aja. Untung gada orang rumah..” protesku.
Dengan gaya khasnya yang suka cengengesan ketika salah, Windy berucap, “Maaf Ca, gue lupa.” ungkapnya. “Lagi ngapain lu Ca?” tanya Windy saat melihat laptop didepanku.
“Biasa.. Lagi iseng aja.” jawabku sekenanya.
Windy yang kepo, langsung melongok ke layar laptopku. “Eh jangan.. Privasi.” buru-buru ku minimize layar Microsoft Word didepanku, agar ia tak melihat apa yang kutulis disana.
Windy menghela nafas, “Hem.. Paham deh. Maaf udah kepo.” ungkapnya. 

Setelah kejadian itu, aku menjelaskan padanya, bahwa setiap orang punya dunianya sendiri, setiap orang juga mempunyai privasi, yang orang-orang tertentu pun, belum tentu dapat melihatnya. Usai ku jelaskan seperti itu, ia mengangguk paham, lalu tersenyum.
Aku Elsa Dwinta, gadis remaja yang punya segudang rahasia dibalik senyumanku pada setiap orang. Terlahir dari keluarga sederhana, yang hanya memiliki seorang kakak, namun ia telah lebih dulu dipanggil Tuhan. Aku punya seorang sahabat, namanya Windy Annisa, bisa dibilang sahabat kecil, karena aku sangat akrab dengannya melebihi apapun. Aku duduk dibangku kuliah, jurusan Psikologi semester 5. Aku hobi mendengar cerita seseorang, karena menurutku kehidupan tiap orang sangat menarik, hingga akhirnya akupun tertarik untuk masuk jurusan tsb. Dan dari jurusan itu, kisah cintaku dimulai. Cinta membawaku pada seorang M. Dimarjio Virgo.

“KRINGGGG!!!” dering handphoneku berbunyi.
“Ca, Jio nelpon?” ujar Windy. Dengan cepat, kuraih handphone yang diberikan oleh Windy. 

Ternyata, Jio mengajakku pergi ke sebuah tempat. Tempat dimana seseorang, bisa merasakan kenyamanan dan keteduhan hati, didalamnya. Tempat dimana seseorang akan merasa dekat dengan pemilik-Nya. Ya, Jio mengajakku ke masjid dekat rumahnya, untuk menemaninya latihan marawis. Aku pun mengiyakan ajakannya.

**
          Masjid Arrahman, 12:04 wib.
          Aku dan Windy telah tiba didepan sebuah bangunan megah. Tempat kaum muslim melaksanakan kewajibannya pada Tuhan. Aku tertegun melihat sebuah bangunan, tempat dimana ku berpijak sekarang. Meski sering diajak Jio ketempat ini, namun inilah perasaanku, saat pertama kali menginjakkan kaki dibangunan indah ini. Entah perasaan apa yang kurasakan begitu melihat bangunan ini, rasanya hatiku sangat teduh dan tenang. Aku kebingungan mencari sosok Jio. Kuputar mata ke sekeliling bangunan itu.

          “Heii, maaf ya. Aku tadi lagi ambil wudhu mau shalat.” ucap Jio melirikku yang juga sekilas memandang Windy. “Win, lu gamau shalat dulu?” tanyanya.
          “Ayo deh. Baru adzan kan? Anterin gue ke tempat wudhunya dong.” pinta Windy. Lalu mereka pergi meninggalkanku untuk shalat.

          Aku memandang kepergian Jio dan Windy dari jauh. Begitu indahnya agama ini, seruan adzan yang baru saja dikumandangkan, langsung menggerakkan hati seseorang yang mendengarnya untuk segera melaksanakan kewajiban shalat. Aku kagum dengan sosok Jio. Meski kadang ia nakal, namun ia tetap ingat akan kewajibannya sebagai seorang muslim. Aku pun iri dengannya. Terutama dengan agamanya.
          Aku, Windy, Jio dan juga teman-temannya, berkumpul di aula masjid itu. Teman-temannya membawa alat-alat yang agak kukenal, seperti gendang, rebana dan lainnya. Dengan dipimpin oleh Jio, latihan itu dimulai. Aku menatap mata teduh Jio, mata tulus Jio, juga mata indah Jio, saat dengan serunya ia memimpin latihan marawis untuk perlombaan minggu depan. Windy pun tak segan merecoki mereka dan minta diajarkan main rebana, tingkah lucunya saat minta diajarkan pada salah seorang teman Jio, membuatku tertawa dalam hati, pasti Windy suka dengan cowok berbaju koko putih itu, begitu pikirku.

          “Iya, latihannya segini dulu. Makasih udah mau dateng, nanti malem kumpul lagi ya.” seru Jio pada teman-temannya menyudahi sesi latihan mereka. Temannya pun setuju lalu mereka pamit pulang.
          “Jio, temen lu cakep deh.” ucap Windy saat tinggal dia, aku dan Jio diaula masjid itu.
          “Udah punya cewek.”
          “Yahhh..”
          “Jio, minggu depan, aku sama Windy ikut kamu ke tempat lomba yah. Aku mau liat lombanya. Bolehkan?” ucapku. “Ohya, nanti temenin aku les nyanyi yuk sama Windy.” ajakku.
          “Siapppp.” Jio membentuk tanda hormat pada tangannya.

**
          Minggu, 12 September, 19:30 wib.
          Aku tengah bersama Windy disebuah aula Karang Taruna AQJ. Disana sedang diadakan lomba marawis, pidato dan beberapa jenis kegiatan keagamaan lainnya. Kini tiba giliran tim Jio. Usai menyiapkan diri juga alat-alat yang dibutuhkan, mereka berdoa, agar malam ini dapat tampil sebaik mungkin untuk semua orang yang hadir.
          Jio memimpin, ia menyanyikan lagu shalawatan. Dengan wajah seriusnya, ia melafalkan tiap bait dari shalawat itu. Intonasi lagu itu terdengar khas, dari suaranya yang serak-serak basah. Tak ada rasa grogi yang terlihat darinya, mungkin itu berkat latihan keras selama seminggu. Aku memandangnya dan tersenyum.

          “Akhirnya… Alhamdulillah menang.” sorak semua tim Jio. Meski tak meraih posisi juara pertama, setidaknya mereka telah memperlihatkan permainan marawis yang indah itu. Jio menghampiriku dan Windy.
          Ia memelukku, “Makasih ya udah dateng. Aku semangat banget pas ngeliat kamu tadi. Aku ngga ngecewain kamukan? Tim aku menang loh.” pamernya dengan bangga.
          “Duh, adegan dewasa nihh.” ungkap Windy konyol, lalu memalingkan wajahnya.
          Aku memukul kepala Windy pelan, “Iya selamat ya. Aku bangga kok sama kamu. Mau deh, dinyanyiin shalawatan..” pintaku lalu melepas pelukannya.

          Jio berdehem, mulai mengambil suara lalu melafalkan lagu shalawatan. Teduh sekali mendengarnya. Rasanya bulir-bulir angin merasuk tubuh dan menyentuh hatiku. Meski aku tak begitu paham akan lafal yang diucapkan Jio dan tentunya sangat berbeda dengan lagu-lagu yang biasa ku nyanyikan di gereja.
          “Jio, makasih ya. Selalu nemenin aku kebaktian di gereja tiap minggu. Nemenin les nyanyi di gereja. Ohya, aku seneng loh, bisa nemenin kamu disini.” ucapku.
          “Iya sayang sama-sama. Meski aku bukan pemeluk Islam yang bener seengganya, karena kamulah yang udah buat aku jadi makin rajin shalat, ikut-ikut acara yang positif. Juga karena kamu, aku udah ngga kaya aku yang dulu.” jelasnya sambil memegang tanganku lalu tersenyum.
          Perbedaan sangat indah. Pernyataan itulah yang aku ingat saat ini. Pertama mengenal sosok Jio, yang sedikit arogan, cuek akan penampilan, agak nakal dan cenderung sombong, membuatku ilfeel dengan sikapnya. Namun lambat laun ketika aku mulai masuk ke kehidupan seorang Jio dan mengenalnya lebih dekat, dia menjelma seperti malaikat tanpa sayap yang dikirim Tuhan untukku. Dia seperti teman, saudara, sahabat ketiga setelah orangtuaku dan Windy, juga pacar buatku.

**
          Aku pulang dari gereja diantar Jio. Kurebahkan diriku disofa yang empuk ini. Mentari diluar sana sangat menyengat diri, membuatku terus membasuh, peluh yang keluar dengan derasnya. Aku mulai mengingat sepasang mata indah milik Jio, seandainya besok aku tak dapat melihatnya (lagi) bagaimana? Apa Jio bisa memancarkan senyuman dari wajahnya ketika melihatku tiada? pikirku, hingga akhirnya, aku memejamkan mata lalu tertidur.
          Adzan maghrib telah berkumandang, aku terbangun. Buru-buru kuraih handphone dan mengirim sms pada Jio untuk menyuruhnya shalat. Sesuatu menetes dari hidungku, yang membasahi dadaku. Aku yang sadar akan hal itu, berlari ke kamar mandi.

**
          Semakin hari, semakin menyiksa. Semakin hari, semakin menjadi. Aku bingung dibuatnya. Jio menghilang beberapa minggu ini. Teman sekolah, rumah bahkan tim futsalnya dikampus pun tak mengetahui keberadaan Jio. Dimana dia? Apa dia tau aku mencemaskannya? Sejak terakhir, dia mengantarku pulang dari gereja, lantas inikah jawabannya? Aku tak pernah melihat mata indahnya lagi sampai detik ini? Tuhan…. Maafkan, akan apa yang telah kuucap.
          Ku raih handphoneku yang tergeletak dimeja. Ku cari nomor Jio dikontak teleponku dan mulai menghubunginya. Lagi-lagi tak ada jawaban. Setelah kesekian kalinya aku telepon, selalu seperti ini. Jio, kamu kemana?
          Ayah dan orangtuaku masih belum pulang, bisa kulihat, karena memang mereka tak terlihat sejak pagi tadi. Ini holiday, tapi benar-benar menyebalkan. Windy pergi. Orangtuaku pun pergi. Jio pergi? Ada apa ini? Aku perlahan menuruni tangga, mataku sedikit samar melihat lantai bawah. Pandanganku agak kabur. Bayangan hitam menyelimuti sepasang bola mataku. Serasa dunia ini terus berputar dan aku pun tergeletak tak sadarkan diri. Namun, aku merasa ada seseorang menggotong tubuh mungilku.

**
          Perlahan, kubuka mataku. Masih samar. Tapi yang kutau, ini bukan rumahku. Bukan tempat tinggalku. Aku dimana?
          “Bagus deh, kalo kamu udah sadar.” ucap seseorang dari balik tirai. Ternyata itu Jio. Aku tersentak melihatnya.
          “Jio…” panggilku lirih. “Kamu kemana aja?” itulah kata-kata yang kulontarkan saat tak melihatnya sekian lama.
          Jio menghampiriku, duduk ditepian tempat tidur. “Kamu kenapa ngga jujur sama aku? Aku udah tau semua. Kenapa kamu sembunyiin penyakit kamu dari aku, orangtua kamu juga Windy. Kenapa?” tatapnya tajam.
          “Jio..” ucapku. “Penyakit itu adalah doa yang selama ini ngga aku pinginin buat terjadi. Aku nyesel. Aku cuma pengen semua orang bahagia dengan ngga ngeliat aku yang lemah karena Jantung.” jelasku dengan nafas yang sesak.
          “Kamu punya Tuhan kan? Kamu harusnya percaya kalo Tuhan bisa sembuhin penyakit kamu. Aku semingguan ini pergi, nyari orang yang bisa nyembuhin kamu? Dan aku udah temuin. Aku sendiri yang bakal donorin jantungku buat kamu. Biar kamu bisa tetep hidup. Dan tetep ada kita, juga kenangan kita.” ucapnya, lalu satu persatu orangtuaku juga Windy, memasuki ruang dimana ku dirawat.
          Aku menghela nafas berat, “Mah, Yah, Windy, Jio, makasih semua. Tapi kayanya aku udah ngga kuat deh. Kak Manda, udah manggil aku. Aku disuruh nyusul dia.” ucapku lemah. “Ohya Jio, aku pikir, aku ngga bisa liat mata kamu lagi, ternyata aku salah. Tuhan sayang sama aku, buktinya sekarang aku masih bisa liat mata kamu sekarang? Aku sayang kamu, aku sayang kalian. Jio, bolehkan aku minta satu permintaan? Jagain Windy, aku sayang dia.” ungkapku dan mataku langsung terpejam. Terpejam dan terpejam.

--END--

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Titik Balik

Pengorbanan Shilla

Kopi Pahit