Kisah Abu

Abu ingat sekali tahun 2008 awal dia merasa semua harus menjadi tanggungjawabnya sebagai mahasiswa pertukaran pelajar. Dia merasa semua harus ditanggungnya sendirian di negara orang. Dimana sebelum ini dia sangat ambisius soal mimpi dan harapannya menjadi yang terdepan. Tapi kala itu, dua kali ia tertimpa musibah di bulan yang sama, setelah ulang tahunnya. Pahit bukan main.

Sendirian di negeri orang.

Tertimpa musibah beruntun.

Alhamdulillah, bukan musibah yang terlalu darurat. Tapi sukses membuat emosi Abu jadi terganggu. Hal itu sukses bikin mentalnya jatuh dan rasanya tak sanggup menjalani sisa harinya di negara orang. Ia ingin cepat pulang. Ia ingin cepat tiba di negeri tercinta. Melupakan semua rasa sakit dan meninggalkan dukanya di negera itu.

Beberapa bulan kemudian, dia berhasil secara fisik dan mental untuk tetap berjuang hadapi traumanya kala di negera orang. Dia akhirnya bisa kumpul dengan keluarga dan kekasih tercintanya. Selama berhari hari lamanya, dia jadi semakin dekat dengan kekasihnya akibat hubungan jarak jauh mereka yang tertahan enam bulan lamanya.

Kemana mana tak bisa lepas dari kekasih. Harus menjadi dan melihat kekasih dalam pandangan. Tak ingin sendirian. Betul betul tak ingin sendirian. Sementara, step by step dunia perkuliahan juga sukses dilewati Abu, mulai dari skripsi dan sidang. Abu benar bangga pada dirinya.

Selepas dari sidang, Abu masih harus berjibaku dengan revisi dan pasca revisi itu menjadi titik balik mentalnya di campur aduk lagi. Dia diminta bekerja di kantor tempat orangtuanya bekerja. Tanpa bisa kasih sign untuk menolak, akhirnya Abu menuruti permintaan bos dari orangtuanya. Karena Abu pikir itu hanya sementara, paling hanya beberapa hari.

Tapi apa?

Dia tertahan lima bulan di sana. Bingung tak tau harus berbuat apa. Pergerakannya terasa diperhatikan orang banyak. Kemampuan Abu serasa dipertaruhkan sebagai yang pernah studi di luar negeri. Ia tidak bebas dan hilang kendali. Emosinya mulai bermain karena merasa tak menjadi dirinya sendiri. Ia harus mendengar orangtuanya dibicarakan di depan orang banyak, ia dipaksa mendengar kisah ibunya yang bahkan ia tak pernah tau sebelumnya. Ia tak sanggup lagi bertahan lama lama di sana bahkan dirinya dinilai buruk.

Emosi Abu kacau. Sangat kacau sampai dia selalu gelisah tiap malam. Menangis tiada henti dan bingung gimana caranya keluar dari semua itu. Belum lagi, kekasihnya tak pernah paham atas kegelisahannya. Abu tak bisa mengendalikan emosinya. Ia jadi makin melankolis dari hari ke hari.

Setelah akhirnya berhasil resign, Abu mulai sedikit tenang menjalani harinya. Ia bisa menebus-kebebasan revisi-yang berbulan bulan lalu tak bisa dia alami. Abu mulai melamar pekerjaan kesana kemari. Pergi ke tempat dekat dan yang sangat jauh dari rumahnya. Pernah di terima dan tanda tangan kontrak tapi besoknya kontrak dibatalkan sehingga dia harus struggle lagi mencari lapangan kerja.

Hidup tak pernah memberinya nafas untuk istirahat. Orangtuanya mendesak untuk mencoba di PNS. Kekasihnya mulai kewalahan hadapi Abu yang luntang lantung cari pekerjaan. Teman temannya, ah, Abu malu untuk sekedar temu kangen dengan mereka. Apalagi jika disinggung sebagai mahasiswa yang pernah studi di luar negeri. Abu merasa tak punya muka untuk bertemu.

Tujuh bulan lamanya Abu nganggur dan memutuskan menjadi relawan. Kekasihnya gelisah bukan kepalang. Ajakan menikah semakin lama semakin mengendur, apalagi kekasihnya akan pindah rumah ke kota lain. Emosi Abu benar benar harus dikelola dengan baik, tapi Abu semakin gelisah tak karuan.

Takut ini dan itu.

Ia rasa hidupnya dimulai berdasarkan atas harapan orang banyak. Sekelilingnya menuntut dia harus ini dan itu. Melakukan ini dan itu dengan sekuat mungkin tanpa keluh dan peluh. Ah, mungkin peluh diperlukan karena hidupnya dirasa pahit jadi butuh sedikit asin. Ih!

Kekasihnya pergi ke kota lain pada akhirnya. Resign dari pekerjaannya. Abu mulai kehilangan dan semakin tak ingin pisah. Ia menuntut untuk ditemani dan diberi secercah semangat. Tapi kekasihnya tak peduli.

Semakin lama hubungan jarak jauh, Abu dan kekasihnya renggang. Mulai jarang berkomunikasi. Abu dinilai tak berguna dan payah. Tak bisa diandalkan. Abu yang selalu dielu-elukan kini dicemooh dan dianggap nomor sekian. Harapan dan janji hanya tinggal kata yang menuntut jawab. Tapi, kekasihnya tak bisa menepati hingga pergi ke pelukan lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Titik Balik

Pengorbanan Shilla

Kopi Pahit