Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2013

Tinggal Kenangan

Dengan mudahnya, kau mendatangi ku lagi. Untuk kesekian kalinya, dalam hari-hariku yang tenang dan damai, tanpamu. Kau kembali, menjadi sosok yang manis, ramah juga baik, seperti saat pertama kita bertemu. Kata-kata manis itu sangat menjanjikan, seolah, harapan masih bisa kugenggam. Namun ternyata, lagi dan lagi, kau kembali mencoreng luka, disudut hati ini. Mengusik hari-hariku dengan rajinnya. Memaksaku untuk kembali menyentuh kenangan, juga mengajariku untuk mengais-ngais masalalu, yang seharusnya telah ku simpan rapi dalam angan.           Kau selalu berpura-pura dalam topengmu. Bersikap manis dengan kata-kata yang menjanjikan. Mungkin salahku, yang dengan mudahnya percaya akan semua ucapanmu. Kau adalah sosok yang tak ku mengerti, bagaimana akhirnya hati ini memilihmu. Aku telah dibutakan oleh rasaku sendiri. Aku, buta karenamu.           “Haii.” sapa Randy, dengan manisnya. Jujur, aku muak dengan wajahnya yang memelas jawaban dariku. Aku memandangnya dingin.         

Pesan untuk Rio

Terimakasih yang terindah, Dhita ucapkan dari hati lembutnya, pada seorang Mario Septino —sosok yang pernah ia kenal, sangat menyayanginya, dulu— dari   dalam hati yang sebenarnya, ia tak pernah terima akan segala sikap Rio padanya. Namun Rio memerani hal terpenting dalam hidupnya, karena secara tak langsung ia telah membantu Dhita untuk berpikir dewasa dan hati-hati dalam menilai orang lain.           Tercoreng, betapa buruknya sikap Rio padanya, dulu. Ibarat lembaran kertas usang, mungkin Rio telah dirobek menjadi sekian bagian, lalu ia biarkan bertebaran dilantai, karena siapa tahu ada seseorang baik hati yang memungut dan membersihkan keburukan hati seorang Rio. Ibarat guling, mungkin Fahmi mengalami luka yang cukup parah, karena dibenturkan tiap hari ke tembok. Juga bagai kerikil kecil, yang dengan mudahnya ia lemparkan kedanau, biar air danau menenggelamkan kerikil itu dari hati Dhita.           Tapi, Dhita bukanlah pribadi yang seperti itu, itu hanya penggambaran kekece

Cinta yang Tak Terucap

Bella menatap arlogi ungu, yang menempel dipergelangan tangan kirinya. Ia memandang sekitar, mencari sosok yang dicarinya. Wajahnya, ia tengadahkan keatas. Semburat air hujan, jatuh membasahi wajah manisnya. Ia kembali menatap arlogi yang senantiasa menemani kesendiriannya. Malam hampir larut, tubuhnya basah karena hujan. Dicarinya tempat teduhan diseberang sana, untuk melindungi diri, dari hawa dingin yang menusuk tulang. ‘Kelvin, mana sih.’ gumamnya pelan. Ia berteduh dihalte. Bola matanya masih ingin mencari, sosok orang yang membuatnya terus menunggu. Lalu lalang kendaraan didepannya, membuat bising suasana. Ia taruh box nasi goreng, yang tadi ia beli dikedai makanan, disampingnya. Kedua tangannya, ia gosokan perlahan, mencari kehangatan, lalu ia masukan ke kantung jaket kulitnya. --           Kelvin terbaring lemah dikasurnya. Mata sayunya, memandang langit-langit kamar. Ia lirik jam weker, yang ada dimeja belajarnya. Perlahan, cahaya matahari merayap masuk, ke