Cinta yang Tak Terucap
Bella menatap arlogi ungu, yang menempel
dipergelangan tangan kirinya. Ia memandang sekitar, mencari sosok yang
dicarinya. Wajahnya, ia tengadahkan keatas. Semburat air hujan, jatuh membasahi
wajah manisnya. Ia kembali menatap arlogi yang senantiasa menemani
kesendiriannya. Malam hampir larut, tubuhnya basah karena hujan. Dicarinya
tempat teduhan diseberang sana, untuk melindungi diri, dari hawa dingin yang
menusuk tulang.
‘Kelvin, mana sih.’ gumamnya pelan.
Ia berteduh dihalte. Bola matanya masih ingin
mencari, sosok orang yang membuatnya terus menunggu. Lalu lalang kendaraan
didepannya, membuat bising suasana. Ia taruh box nasi goreng, yang tadi ia beli
dikedai makanan, disampingnya. Kedua tangannya, ia gosokan perlahan, mencari
kehangatan, lalu ia masukan ke kantung jaket kulitnya.
--
Kelvin
terbaring lemah dikasurnya. Mata sayunya, memandang langit-langit kamar. Ia
lirik jam weker, yang ada dimeja belajarnya. Perlahan, cahaya matahari merayap
masuk, ke celah-celah dinding kamarnya. Badannya menggigil hebat. Peluh menetes
deras dari dahinya. Ia husap, peluhnya. Lalu ia tarik selimut, menutupi
dadanya.
‘Bella..’ rintihnya perlahan.
Teringat
hasil rontgen, beberapa hari sebelumnya. Air mata terlihat dari sudut mata
Kelvin. Betapa kanker hati, telah merusak organ dalam tubuhnya. Kini harapan
hidup, hanya pengandaian semata. Karena vonis dokter, ia hanya dapat bertahan
selama sebulan saja.
Bayangannya
menerawang, masa-masa indah saat bersama Bella. Gadis manis, yang akhir-akhir
ini, senantiasa berada didekat Kelvin. Seorang gadis, yang dulu tak berani
mendekati Kelvin, karena sikap dinginnya pada semua orang. Entah karena hal
apa, akhirnya, hati Kelvin luluh pada senyuman pertama seorang Bella, padanya.
Kedekatan mereka bermula, berkat kegiatan mahasiswa yang diadakan kampus, 3
bulan lalu.
Dan
tentang penyakit Kelvin, Bella tak pernah mengetahui hal ini. Bahkan Kelvin
bersikap selayaknya remaja biasa, yang tak menyembunyikan sesuatu apapun pada
Bella. Juga sampai sekarang, ia terbaring lemah dikost-annya, ia tak mengabari
hal ini pada Bella. Tak ingin dan tak akan mengabari hal ini, pada sosok
wanita, yang berhasil membuatnya merasakan; cinta.
Lain
halnya, dengan Bella yang pagi ini tengah berada dikampus. Usai mengisi kelas
Pak Tomo, sang dosen Ilmu Komunikasi, ia pergi ke kantin menemui
teman-temannya, Luna dan Chika.
“Hei
Bel, tumben ngga sama Kelvin. Doi kemana?” tanya Luna ramah.
“Tau
tuh. Dua hari lalu dia bilang, lagi pengen nasi goreng. Semalem gue bawain nasi
goreng, gue nunggu dia dihalte seberang jalan Mawar sampe gue kehujanan, tapi
dia ngga ada. Sekarang juga belum ngabarin gue.” Bella duduk disamping Luna.
“Hii..
Ati-ati sama cowok plegmatis kaya Kelvin. Dia kan misterius orangnya.” sambar
Chika.
“Chikaa.. Jangan gitu ngomongnya!” omel
Luna.
“Ih,
emang bener. Kadang ya, cowok kaya Kelvin, biasanya seneng bikin cewek berharap
banyak sama dia. Kalo cowok itu udah ngga butuh, ceweknya ditinggalin deh.”
ujar Chika.
Bella
menimbang-nimbang lagi ucapan Chika. Hampir membuatnya percaya, dan ia
membenarkan bahwa Kelvin, mungkin saja seperti yang Chika bilang. Belum lagi,
Bella baru beberapa bulan mengenalnya. Luna ataupun Chika, juga bukan dari
fakultas yang sama dengan Kelvin. Ia juga tak kenal satupun orang, yang satu
fakultas dengan Kelvin. Karena sosok Kelvin, yang selalu menutup diri dari
oranglain.
“Sorry,
Bella ya?” tanya seorang cowok perawakan jangkung dan berwajah Arabian.
“Iya.
Siapa ya?” ucap Bella heran.
Ia
letakan sebuah buku didepan Bella, “Gua Aldo, anak Kedokteran. Gua denger, lu
deket sama Kelvin, gua minta tolong kasihin buku ini ya, gua gatau kost-annya.
Thanks ya..” ucapnya, lalu pergi begitu saja.
‘Kedokteran? Apa hubungannya? Gue pikir,
Kelvin gapunya temen deket disini, ternyata punya.’ pikirnya dalam hati.
Bella teringat suatu hal, “Hei, Aldo..
Gue juga ngga tau kost-an dia.” teriak Bella, namun sayang, bayangan Aldo sudah
tak terlihat lagi dikantin.
Bella
dan kedua sahabatnya, memerhatikan buku tebal yang Aldo berikan padanya.
Tersampul coklat, tak terlihat gambar ataupun tulisan cover depan buku itu.
Chika menyuruhnya, untuk membuka buku itu, namun Bella menolak, ia tak ingin
membuka buku yang bukan miliknya. Dimasukan buku tebal itu, kedalam tas
ranselnya.
--
Seminggu
kemudian..
Masih
dengan hal, yang seperti seminggu lalu. Bella dan Kelvin, belum juga bertemu
sampai detik ini. Bella risau akan sikap Kelvin yang tiba-tiba menghilang dari
kehidupannya. Tak memberi kabar sedikitpun mengenai dirinya. Beberapa kali
Bella mencoba menghubunginya, namun nomornya tidak aktif.
Ia
mulai mengingat-ingat lagi, masa indahnya saat bersama Kelvin. Seorang calon
Psikolog, yang telah ia berikan tempat terindah disudut hatinya yang kosong.
Seorang cowok yang angkuh, dingin, cuek, juga penyendiri, yang berhasil ia
luluhkan hatinya. Kedatangan Kelvin dihari-harinya, memberi sebuah warna baru
bagi kehidupan percintaannya.
Ia
pandang handphonenya, terpampang sebuah wallpaper fotonya dan Kelvin disebuah
taman didaerah Blok-M. Ia tepiskan, ucapan yang pernah Chika lontarkan beberapa
waktu lalu, saat melihat foto itu. Ia buang jauh-jauh pikiran jeleknya terhadap
Kelvin. Gerimis kecil, jatuh membasahi wajah manisnya. Ia merasakan kerinduan
yang teramat sangat.
“Kelvin
apa kabar, Bel?” tanya Chika, membuyarkan lamunan Bella.
“Gatau.”
Bella buru-buru menghapus air matanya.
Luna
dan Chika menyadari keanehan sahabatnya, tiba-tiba, “Bella… Akhirnya ketemu! Lu
ngga ada kelas lagikan? Ikut gua bentar yuk.” ajak Aldo tiba-tiba.
Aldo
menarik pergelangan tangan Bella, erat. Luna dan Chika, berlarian kecil
dibelakang mereka. Disepanjang koridor kampus, Aldo bercerita mengenai asal
mula kedekatannya dengan Kelvin, yang kala itu, Kelvin mencari psikiater untuk
dirinya, kebetulan juga Aldo dari jurusan Kedokteran, ia pilih untuk
membantunya. Tak lama, Aldo memberanikan diri, bercerita tentang keadaan Kelvin
yang tak baik selama ini.
“Kelvin
kenapa?” tanya Bella khawatir.
“Engg..
rahasialah. Nanti lu juga tau kok.” ucap Aldo.
Mereka
berempat tiba disebuah Rumah Sakit daerah Cibubur. Bella yang kala itu masih
bingung dengan ajakan Aldo, yang tiba-tiba kerumah sakit, juga tentang keadaan
Kelvin, tak hentinya melontarkan banyak pertanyaan pada Aldo. Aldo menegaskan
bahwa Kelvin baik-baik saja.
Bella,
Chika dan Luna duduk diruang tunggu. Aldo pergi menghilang, entah kemana. Bella
makin bingung dibuatnya. Kedua sahabat tercintanya, terus mendampingi Bella,
meyakinkan Bella bahwa Kelvin pasti akan baik-baik saja. Aldo datang mencari
Bella, mengajak Bella untuk pergi menemui Kelvin yang sedang kritis pasca
operasi. Keempat remaja itu, pergi keruang operasi. Kini Bella bisa melihat
Kelvin, lebih tepatnya keadaan Kelvin, meski terhalang kaca. Ia bingung dengan
apa yang terjadi. Seorang wanita cantik, keluar dari ruang operasi memeluk
Aldo.
“Sayang..
Aku sama tim dokter yang lain udah berusaha semaksimal mungkin. Tapi takdir
berkata lain, temen kamu ngga bisa ditolong.” ucap wanita itu terisak dipelukan
Aldo.
‘Belum sempat ku membuat dia tersenyum.
Haruskah ku kehilangan tuk kesekian kali. Tuhan, kumohon jangan lakukan itu.
Sebab, kusayang dia. Sebab, kukasihi dia. Sebab, kutak rela, tak selalu
bersama. Kurapuh tanpa dia, seperti kehilangan arah’
Bella
tersentak mendengar perbincangan Aldo dan wanita yang (mungkin) pacarnya.
Dadanya sesak, kakinya lemah, tak kuat berdiri. Sosok yang selalu ia tunggu
kabarnya, kehadirannya, senyumannya, mata indahnya, harus rela ia kubur semua
itu dalam angannya. Luna dan Chika yang juga tak percaya akan secepat ini
kepergian Kelvin, tak luput meneteskan air mata kesedihannya. Mereka memeluk
Bella, yang sangat histeris akan hal ini.
--
Dikamar
tidurnya, entah sudah berapa lama hujan menari-nari diluar sana. Bella
memberanikan diri untuk membuka buku tebal yang kala itu Aldo berikan untuknya,
yang katanya; milik Kelvin. Ia mengusap sampul depan buku itu. Dibukanya
perlahan buku itu, ternyata sebuah skatebook.
Halaman awal, tertera sebuah sketsa wajah yang sangat ia kenal, itu dirinya.
Bagian selanjutnya, terdapat beberapa deretan puisi, yang dibawah judul puisi
itu tertera nama lengkap Bella; Indina Bella Carissa. Ia buka lembaran
selanjutnya, terdapat beberapa bercak darah dan secarik kertas tentang Kanker
Hati. Air hujan diluar sana mewakili betapa sedihnya perasaan Bella, malam itu.
Ia
tutup skatebook peninggalan Kelvin.
Ditaruhnya skatebook itu, dilaci meja
belajarnya, ia kembali ketempat tidur, ia ambil handphone-nya, yang tergeletak
dikasur, terpampang wallpaper dirinya dan Kelvin, senyum simpul terurai dari
wajah manis Bella. Bella menghela nafas, ia menarik selimut menutupi wajahnya,
ada gerimis kecil dimatanya, gerimis itu bernama air mata.
Komentar
Posting Komentar