Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Titik Balik

Waktu mulai menunjukkan Maghrib. Matahari telah usai bagiannya untuk menyinari hari. Saya pulang dengan tangan kosong. Lagi dan lagi. Saya tau ini buah dari rasa 'leyeh-leyeh' yang terlampau sering. Tapi ini akhir pekan, memang sudah waktunya saya berhenti dari kegiatan. Saya menerka bahwa Abu dan seorang teman jauhnya sekarang telah berkawan dengan jarak. Waktu juga merupakan karibnya yang selalu lengket, tak bisa lepas barang sedetik. Meski saya tau bosan adalah kawan yang paling ampuh untuk bisa kau peluk selain guling. Abu, saya haturkan terima kasih sekali karena kisahmu menjadi parameter saya menelaah hidup, pakar saya dalam menentukan arah.  Saya malu Abu. Sungguh. Saya malu kenapa tidak sejak dulu saya ikuti ucapmu, jalani rasionalmu, ketimbang harus menyusuri perasaan semu. Dulu visioner umpama teman sejawat bagi kita. Kita orang paling berambisi, menilik satu per satu kisah mana yang mau kamu kabulkan dalam perjalananmu sendiri. Mempelajari kontinennya untuk segera ki

Parameter Asa

Kau hadir malam ini, untuk semua tanya yang tak pernah terjawab. Lari pelan pelan di ambang sore, menyergap pikiran dan memenjarakan imaji saya yang seolah tak pernah henti kilas balik. Mengutuk kalimatmu agar saya bisa seperti sedia kala dalam andil bahagia, menjadikannya semangat juang meski hati kepayahan untuk mengikhlaskan semua kebaikan yang sepaket dengan kedukaan. Kau sekali lagi muncul di permukaan. Di tengah senja yang harusnya bisa kita nikmati berdua dengan minuman saya kopi dan kau seperti biasanya es teh manis, keduanya menyesap memori yang penuh romansa suka cita. Membersamai saya hilangkan segala penat, di atas kasur yang pekat, di dalam rumah yang lembab. Kau datang bersamaan dengan kebetulan kebetulan yang gila. Kejeniusan yang nakal dan liar. Memaksa saya untuk sejenak mengadukanmu dan membawamu kepada yang Berhak atas apa apa yang pernah ada dan masih sampai dengan sekarang. Untuk kau, di kilometer 96 yang selalu sunyi dan senyap, dan tak pernah menjawab.

Kopi Pahit

Ini masih awal bulan dan sudah banyak teman-teman yang tumbang. Saya masih bisa mendengar ketika saat itu mereka masih dan hanya bisa bertahan selama beberapa hari lamanya di daerah pertahanan mereka. Mereka meraung meminta tolong mendengar kesilapan-kesilapan yang pernah mereka terima dulu, ketika masih menjadi bagian dari yang lain. Tak ada ruang untuk berbagi kedamaian rasanya. Tak ada asa yang bisa menjadi pegangan di masa sulit selain daripada berdoa dan mengaku salah, sebagaimana kita semua adalah pendosa. Saya kala itu masih menahan kantuk yang amat hebat di sebuah kafe di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Ditemani segelas kopi yang dibeli seorang kawan yang berjanjian dengan saya malam ini, padahal saya minta padanya segelas teh susu hangat. Tapi memang dasar pecandu kopi kekinian. Minum teh saja pun tak pernah kecuali di warung makan. Ah, sembari melihat dia yang masih asik dengan ponselnya dan menunggu pesanan makanan kami diantar, saya melirik kumpulan anak kecil di luaran kafe

Keramas

Berulangkali saya coba tanya lagi ke diri saya tiap malam, tiap angin itu berhembus kencang, tiap saya mulai menutup tirai kamar, juga tiap saya mulai mengurai rambut dan meletakkan pelan-pelan kepala saya ke bantal, "Apa kepala saya sudah sembuh?" Saya ingat-ingat lagi pagi sampai sore hari di tiap harinya. Saya sudah minum air putih banyak-banyak. Saya pun telah mencukupkan porsi makan saya dua sampai tiga kali sehari. Saya telah dengan baik menyadarkan pikiran saya bahwa jangan terlalu sering duduk di depan meja kerja. Atau kata baiknya, harus sering melakukan peregangan otot. Jangan terlalu monoton. Harus sering bepergian, berbincang dan senda gurau mumpung belum dilarang tertawa. Pokoknya kalau kata motivator, "Nikmati dirimu dengan baik. Sayangi diri dan cintai dirimu dengan benar." Hari-hari saya sekarang lebih disibukkan menari di keyboard dan bersenggama lewat video call atau bahkan telepon whatsapp dengan seorang kawan. Pokoknya harus menyenangkan. T

Kisah Abu

Abu ingat sekali tahun 2008 awal dia merasa semua harus menjadi tanggungjawabnya sebagai mahasiswa pertukaran pelajar. Dia merasa semua harus ditanggungnya sendirian di negara orang. Dimana sebelum ini dia sangat ambisius soal mimpi dan harapannya menjadi yang terdepan. Tapi kala itu, dua kali ia tertimpa musibah di bulan yang sama, setelah ulang tahunnya. Pahit bukan main. Sendirian di negeri orang. Tertimpa musibah beruntun. Alhamdulillah, bukan musibah yang terlalu darurat. Tapi sukses membuat emosi Abu jadi terganggu. Hal itu sukses bikin mentalnya jatuh dan rasanya tak sanggup menjalani sisa harinya di negara orang. Ia ingin cepat pulang. Ia ingin cepat tiba di negeri tercinta. Melupakan semua rasa sakit dan meninggalkan dukanya di negera itu. Beberapa bulan kemudian, dia berhasil secara fisik dan mental untuk tetap berjuang hadapi traumanya kala di negera orang. Dia akhirnya bisa kumpul dengan keluarga dan kekasih tercintanya. Selama berhari hari lamanya, dia jadi semakin dekat d

Epidemi

Pagi ini ditemani dengan segelas susu dan dua tangkap roti dengan selai cokelat, Arin merebahkan dirinya ke kursi leyeh sebelah meja belajar. Tangannya tak henti berselancar di ponsel dan sesekali tersenyum melihat entah siapa di sana. Jemarinya bergerilya bebas sambil menyesap udara minggu pagi yang cerah. Sesekali dia memikirkan ingin keluar dari rumah. Tak ingin tertahan lebih lama karena epidemi yang merebak ini. Hatinya gusar karena tidak bisa bertemu temannya dengan leluasa. Pikirannya telah penuh dengan isi dari buku novel yang ia baca, imajinya tak ayal ingin menjadikan drama yang baru saja ditontonnya menjadi nyata, khayalnya membludak ramai, penuh dengan segala kisah manis dan pahit yang belakangan ini dirasainya. Kami di Indonesia tengah berjuang bersama melawan epidemi yang beberapa bulan ini menghantui hampir seluruh negara di dunia. Negara yang tadinya kami pikir akan baik-baik saja karena kemungkinan epidemi ini tak akan masuk, ternyata kewalahan juga. Terhitung tangga

Random Thoughts

Hari itu, pulang kuliah, sebetulnya udah paham keadaan Anita bakal kayak gimana ke depannya. Roy juga udah tahu sikap dia secara keseluruhan, karena cowok itu emang dasarnya sejak sekolah suka mengamati sikap teman-temannya. Kebetulan Anita ini juga temen SMP dan bahkan pernah sekelas sama Roy. Jadi tabiat dan kepribadiannya udah tergambar sedikit. Dimana dulu Roy sempet dikejar sama Anita, karena saat itu Roy emang gak tertarik sama sekali sama dia dan segala sikap annoying-nya, Roy mutusin buat masang tembok gede sama cewek yang berlebihan dan suka tebar pesona sama cowok-cowok. Kira-kira maksud Roy, dia jaga jaraklah sama cewek yang begitu. Gak akan mau juga di deketin.  Tapi ya, memang si Roy ini dikenalnya orang yang berani deketin cewek. Deketin pake cara sendiri dulu gitu deh, kalau dirasa dia udah mentok, baru panggil temen akrabnya yang hebring dan lebih supel dari dia, then see, dia bisa deket sama cewek itu dalam sekejap. Tapi juga nih, belajar dari sikap Roy yang u

How to Know Urself?

Ketika itu, ritme hidup yang dulu gue jalani terasa pongah dan gak bergairah. Contohnya, kuliah harus linear dengan kejuruan di sekolah, kuliah harus di tempat bagus dan jurusan bagus. Saat itu kayaknya gue gak paham bagus yang mereka minta itu seperti apa. Gue harus masuk UI biar jadi terpandang? Gue harus masuk jurusan manajemen biar nanti cari kerja gampang ketika lulus kuliah? Gue gak boleh ambil jurusan semau gue, harus berdasarkan pengalaman orang? Hari hari kuliah gue di semester awal rasanya berat kalau gue harus memangku dan memikul keinginan mereka. Mereka yang gak tau gue maunya apa sebenarnya, meraka yang tiap pulang malem, yang gue bingungin, gue harus nungguin mereka atau langsung tidur. Tapi kalau langsung tidur, gue makin gak deket sama mereka. Sampe rasanya gue kepayahan untuk cari tempat yang bisa gue curahkan demi mendapat perhatian dan/atau minimal basa basi. Gue cari kesana kemari sampai singgah di tempat yang salah, mendapat perhatian, awalnya, tapi setela