How to Know Urself?

Ketika itu, ritme hidup yang dulu gue jalani terasa pongah dan gak bergairah. Contohnya, kuliah harus linear dengan kejuruan di sekolah, kuliah harus di tempat bagus dan jurusan bagus. Saat itu kayaknya gue gak paham bagus yang mereka minta itu seperti apa.

Gue harus masuk UI biar jadi terpandang?
Gue harus masuk jurusan manajemen biar nanti cari kerja gampang ketika lulus kuliah?
Gue gak boleh ambil jurusan semau gue, harus berdasarkan pengalaman orang?

Hari hari kuliah gue di semester awal rasanya berat kalau gue harus memangku dan memikul keinginan mereka. Mereka yang gak tau gue maunya apa sebenarnya, meraka yang tiap pulang malem, yang gue bingungin, gue harus nungguin mereka atau langsung tidur. Tapi kalau langsung tidur, gue makin gak deket sama mereka. Sampe rasanya gue kepayahan untuk cari tempat yang bisa gue curahkan demi mendapat perhatian dan/atau minimal basa basi.

Gue cari kesana kemari sampai singgah di tempat yang salah, mendapat perhatian, awalnya, tapi setelah mereka puas, setelah mereka udah gak penasaran lagi. Mereka lupa kebaikan yang selama ini gue perbuat. Kenangan itu seolah ditimbun rapat rapat dalam peti yang udah gak punya daya untuk di buka. Sampe kadang kadang gue males kenal orang lain toh nanti gue ditinggalin, toh nanti gue harus belajar semuanya sendirian, toh gue harus cari jalan keluarnya sendirian.

Gue gak bisa bilang gak apa apa atas rasa yang udah dari kecil sampai sekarang baru keliatan. Tapi takdir udah berkehendak soal ini? Allah gak bisa merubah takdir suatu kaum jika kaum tersebut tidak mengubahnya.

I have to allow it. Seberapa pun menyakitkannya.
Sebagaimana pun manusia harus cari jati dirinya sendiri.

Di usia sekarang justru gue yang harus menghidupkan segalanya. I have to deal with it.

Mereka "kedinginan" di luar sana, jadi gue harus beri "kehangatan". Kata seseorang yang gue kenal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Titik Balik

Pengorbanan Shilla

Kopi Pahit