Epidemi

Pagi ini ditemani dengan segelas susu dan dua tangkap roti dengan selai cokelat, Arin merebahkan dirinya ke kursi leyeh sebelah meja belajar. Tangannya tak henti berselancar di ponsel dan sesekali tersenyum melihat entah siapa di sana. Jemarinya bergerilya bebas sambil menyesap udara minggu pagi yang cerah. Sesekali dia memikirkan ingin keluar dari rumah. Tak ingin tertahan lebih lama karena epidemi yang merebak ini. Hatinya gusar karena tidak bisa bertemu temannya dengan leluasa. Pikirannya telah penuh dengan isi dari buku novel yang ia baca, imajinya tak ayal ingin menjadikan drama yang baru saja ditontonnya menjadi nyata, khayalnya membludak ramai, penuh dengan segala kisah manis dan pahit yang belakangan ini dirasainya.

Kami di Indonesia tengah berjuang bersama melawan epidemi yang beberapa bulan ini menghantui hampir seluruh negara di dunia. Negara yang tadinya kami pikir akan baik-baik saja karena kemungkinan epidemi ini tak akan masuk, ternyata kewalahan juga. Terhitung tanggal 29 Maret 2020 ini, pasien positif epidemi telah mencapai 1.555 orang dari awalnya hanya dua orang yang terjangkit. Awal virus ini bermula sejak November 2019 di kota Wuhan, China, belum pasti bahwa ini adalah sebuah virus mematikan tapi seiring banyaknya orang yang tumbang, Wuhan memastikan virus ini begitu berbahaya yang masih serumpun dengan MERS dan SARS. Malahan lebih bahaya daripada AIDS.

Yeah, pagi ini Arin gelisah. Dilema tak karuan. Baru saja sahabat setianya pergi meninggalkannya, belum lagi sekarang kota tempat tinggalnya menjadi kota terbanyak yang memiliki kasus epidemi ini. Ia dan masyarakat lain dihimbau untuk mengakrabkan diri di rumah. Bersantai dengan keluarga lebih lama, menikmati hobi yang menyenangkan dan tentunya tetap melakukan pekerjaannya. Banyak hal yang mengganggu pikiran Arin sebulan ini. Bahkan jika kilas balik, ia dan negaranya seolah tidak siap dengan ada epidemi ini. Negaranya kelimpungan mengurus banyak pasien suspect yang berjejal ingin diperiksam, namun berbanding terbalik dengan orang yang tetap nakal keluyuran di luar rumah. Arin tak mau menjadi salah satunya. Ia tau wabah ini cukup bahaya. Sangat malah.

Semua orang berkomunikasi via online. Rindu bertemu karena terpisah berkilo jarak atau bahkan benua. Semua saling berpegangan, menguatkan dan mengingatkan masing-masing. Banyak influencer bersenang ria mengadakan penggalangan dana demi kemanusiaan. Banyak artis juga yang turut serta memedulikan kaum bawah dan memberinya bantuan pangan. Atau bahkan komunitas tak habis-habisnya menggali nurani untuk peduli pada tenaga kesehatan yang telah membantu melayani pasien epidemi ini. Arin sekali lagi tersenyum menatap ponselnya.

Kehilangan sahabatnya tak seberapa.

Ya meski sedang jatuh jatuhnya.

Meski juga merasakan sakit.

Tapi situasi ini harus menjadi lebih baik.

Situasi ini harus menjadi pelajaran, setidaknya, untuk sama-sama peduli soal manusia.

Love,
Arin.
(Nama disamarkan).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Titik Balik

Pengorbanan Shilla

Kopi Pahit