Titik Balik

Waktu mulai menunjukkan Maghrib. Matahari telah usai bagiannya untuk menyinari hari. Saya pulang dengan tangan kosong. Lagi dan lagi. Saya tau ini buah dari rasa 'leyeh-leyeh' yang terlampau sering. Tapi ini akhir pekan, memang sudah waktunya saya berhenti dari kegiatan.

Saya menerka bahwa Abu dan seorang teman jauhnya sekarang telah berkawan dengan jarak. Waktu juga merupakan karibnya yang selalu lengket, tak bisa lepas barang sedetik. Meski saya tau bosan adalah kawan yang paling ampuh untuk bisa kau peluk selain guling.

Abu, saya haturkan terima kasih sekali karena kisahmu menjadi parameter saya menelaah hidup, pakar saya dalam menentukan arah. 

Saya malu Abu. Sungguh.

Saya malu kenapa tidak sejak dulu saya ikuti ucapmu, jalani rasionalmu, ketimbang harus menyusuri perasaan semu. Dulu visioner umpama teman sejawat bagi kita. Kita orang paling berambisi, menilik satu per satu kisah mana yang mau kamu kabulkan dalam perjalananmu sendiri. Mempelajari kontinennya untuk segera kita cari cara agar itu terwujud.

Haduh, Abu, dia sungguh bukan tandinganmu dalam perjalanan kalian. Kamu matahari, cerah dan selalu bersinar. Dia hanya seorang bulan, tak beraturan bentuk, gelap dan sendirian. Dia sungguh bukan karibmu. Dia selatan dan kamu utara.

Haha, tapi saya senang akhirnya kamu berani Abu. Pegang keyakinan ini padamu. Kamu sudah meninggalkan itu sejak lama, bukan kemarin, bukan tahun lalu. Dia yang terlambat. Kamu tidak. Kamu hebat membuatnya sadar. Kamu keren dengan caramu yang keras. 

Saya menyukaimu Abu.

Hiduplah dengan keyakinan itu sekarang. Saya menyukaimu!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengorbanan Shilla

Kopi Pahit