Kopi Pahit

Ini masih awal bulan dan sudah banyak teman-teman yang tumbang. Saya masih bisa mendengar ketika saat itu mereka masih dan hanya bisa bertahan selama beberapa hari lamanya di daerah pertahanan mereka. Mereka meraung meminta tolong mendengar kesilapan-kesilapan yang pernah mereka terima dulu, ketika masih menjadi bagian dari yang lain. Tak ada ruang untuk berbagi kedamaian rasanya. Tak ada asa yang bisa menjadi pegangan di masa sulit selain daripada berdoa dan mengaku salah, sebagaimana kita semua adalah pendosa.

Saya kala itu masih menahan kantuk yang amat hebat di sebuah kafe di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Ditemani segelas kopi yang dibeli seorang kawan yang berjanjian dengan saya malam ini, padahal saya minta padanya segelas teh susu hangat. Tapi memang dasar pecandu kopi kekinian. Minum teh saja pun tak pernah kecuali di warung makan. Ah, sembari melihat dia yang masih asik dengan ponselnya dan menunggu pesanan makanan kami diantar, saya melirik kumpulan anak kecil di luaran kafe. Ada remaja di sana. Laki-laki dan perempuan. Entahlah mungkin mereka sebaya. Hanya postur tubuh beberapa dari mereka yang tampak kecil.

Si laki-laki bongsor menggunjing perempuan dan teman sebelahnya lagi. Mereka ini sedang berjalan beriringan membawa tas jinjing dan keperluan mereka lainnya, yang disingkap di badan. Seperti syal?

Perempuan itu menyela pembicaraan temannya namun dibalas dengan tak kalah cepat dengan satu kali pukulan. Entah pelan atau cepat. Tapi pastinya, sepersekian detik itu langsung membuat wajah perempuan itu ditekuk layu. Tak lama mereka pergi ke warung makan tepat di seberang kafe yang sekarang saya dan seorang kawan saya berdiam.

Mereka dengan berisik terus menggunjing. Perempuan itu menimpali dengan sarkas, yang herannya tiap orang di sana terasa hanyut dengan guyonannya. Atau lebih tepatnya, saya rasa seperti gunjingan. Seorang laki-laki di sana langsung berubah masam. Ia bangkit dari kursinya bersama ponsel dalam genggamannya, dia pergi. Perempuan itu jauh lebih sarkas melalui pandangan sinis yang mengantarkan kepergian si laki-laki bongsor itu. Dia lebih tenang sedikit tapi terlihat gusar. Buru-buru entah kemana juntrungannya.

Saya diam-diam masih mengamati pergerakan kelompok kecil di luar sana dengan penasaran. Kopi panas dekat saya hampirlah dingin dibuatnya. Tak sedikit pun kena sentuh di ujung gelasnya sampai-sampai kawan saya menepuk meja pelan, minum dong keburu dingin, katanya.

Ah, mengganggu saja, pikirku.

Kawanku berubah raut wajahnya dengan ponsel masih menempel di tangan. Tentu saja. Perempuan itu hamba ponsel. Tak kalah dengan laki-laki yang kuamati di seberang kafe sana. Ponsel adalah kawan sejati mereka yang tak akan meninggalkan. Saya lihat-lihat jam di dinding sana. Tak terasa kami di sini hanya dalam diam, mengunyah makanan dalam keheningan dan sesekali berfoto manis di Instagram untuk kirim bukti pada netizen bahwa kita berdua cukup menikmati derasnya teknologi. Sisipkan sedikit filter dan berpose seriang mungkin.

Haha saya dan kawan saya terlihat baik-baik saja bukan?

Jarum jam bergerak begitu cepat hingga menunjukkan pukul sembilan malam. Batas waktu saya dan kawan segera berakhir. Saya menengok dengan sengaja kearah seberang, tepatnya ke warung makan tempat muda-mudi tadi berkumpulan. Mereka masih dengan semaraknya berbincang dan terbahak karena guyonan entah siapa. Atau, tertawa yang dibuat-buat? Perempuan sarkas yang saya sebutkan di atas, tampak berbeda dari sebelumnya. Lebih riang dan terlihat lepas. Seolah gundahnya pergi seiring laki-laki bongsor yang tadi memukulnya pergi. Tak lama seorang wanita terlihat keluar dari pintu kafe tempat saya dan kawan saya berdiam.

Ia mendekati meja warung makan tempat kumpulan muda-mudi menghabiskan sisa malam. Ia berdiri di sana dengan membusungkan dada, menatap perempuan paling tak asing yang menjadi lakon utama dalam pandanganku. Perempuan itu membalas tatapannya sarkas. Benar-benar terlihat arogan. Tak mau kalah. Mereka berdua sangat cantik untuk ukuran perempuan tinggi. Sama-sama berkulit putih. Satu berambut pendek sebahu dan yang sarkasme tadi berambut cokelat panjang.

Saya menopang dagu menunggu kawan membayar seluruh pesanan dan memandang penuh ingin tahu kearah seberang kafe. Mungkin saya orang paling jahat yang ada di kafe itu dan paling tidak menghargai kawan saya karena pemandangan di luar lebih asik daripada seorang dia. Tiba-tiba tak luput dari pandangan saya, perempuan sarkas itu menuang minumannya ke baju gadis di depannya. Mulut saya hampir tak bisa terkatup. Pemandangan itu saya akhiri setelah melihat kerumunan orang mulai berkumpul di dekat meja muda-mudi itu. Entah peristiwa apa yang terjadi selanjutnya di sana.

"Lo gak dengerin cerita gue tadi?" kata kawan saya. Kesal. "Malah ngeliatin rame2 di sana."

Saya melirik kearah seberang. "Dengerin kok. Saran gue, lo lupain kejadian barusan. Gak baik diinget-inget terus. Gak baik buat mental lo. Kasian kalau sampe stres."

"Lo emang paling nyebelin!" timpal kawan saya lagi.








 








 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Titik Balik

Pengorbanan Shilla