Cemas

Aku, Meilia, dara kelahiran Jakarta, 23 tahun silam.

Aku suka menulis dan bisa mencurahkan segala hal lewat menulis. Tidak butuh berkali-kali aku katakan, aku ingin jadi penulis, juga.

Penyuka tulisan identik dengan kesunyian dan ketenangan. Sesekali meneguk pahit bersama kopi dan berteman bersama angan. Nyaman.

Hingga akhirnya begitu lulus SMK dan masuk di jurusan yang aku ingin. Aku kehilangan semangat menulis pada tahun kedua semester 3. Aku mulai menjalin hubungan dengan orang lain. Teman sejurusan, seangkatan, sepermainan.

Dia ahli dalam bidangnya di Sastera. Sementara aku di Linguistik. Aku sudah tau itu. Meski aku tekankan padanya, aku suka Sastera. Sampai akhirnya, kami mengerjakan tugas, fokusku untuknya, fokusnya untukku. Tapi lambat laun, dia mulai aneh dengan jalan pikirnya dan aku seolah kehilangan jati diri. Sebabnya, kami tidak sejalan dan selesai.

Pada 2016, aku ke Bali menghilangkan segala penat usai putus dan aku menyukai Bali teramat sangat. Sampai-sampai aku merasa hidup tidak cukup 24 jam untuk berekspresi begitu pulang dari sana. Aku senang. Senang seperti orang yang baru keluar kandang.

Ya, aku anak rumahan.

Aku pernah bilang pada diriku: Jika Tuhan belum mempertemukanku dengan laki-laki yang baik, aku akan serius dengan hijrahku. Tapi waktu mempertemukanku dengan teman lamaku, Salman Alfarisi, ia datang lagi. Datang dengan masih membawa suka sejak lama. Kami dekat dan niat menjalin hubungan serius.

Awal menjalin hubungan aku tidak begitu menaruh perhatian padanya. Ini jujur. Aku tidak mau ketika aku menaruh perhatian lebih, nyatanya dia tidak sepaham lagi. Jadi, aku santai dan tetap mencoba menyayangi dirinya sebagai Salman Alfarisi baru, seperti yang baru kukenal.

Dia sangat membawa warna baru. Mengajakku kenal pada dunianya. Mengenalkanku pada dunia yang belum pernah kutemukan dan diperkenalkan dengan dunia yang, aku yakin, aku butuh dunia sepertinya. Aku suka dia.

Aku pernah dibilang cuek oleh orang sejagat raya yang kukenal. Jutek. Tidak pernah senyum. Diam.

Sampai suatu saat, aku dan Al, panggilanku untuknya dari nama Al-farisi, kami pulang dari Tangerang pukul 9 malam setelah berkutat dengan kebersamaan selama 12 jam sejak pagi tadi.

Dia mengantarku pulang dan main sejenak di rumahku sambil mengisi baterainya yang hampir sekarat. Dalam hening kami, dia dengan hapenya sementara aku lakukan aktivitas lain di depannta. Dia bilang, aku harus ke Pemalang malam ini, temani seorang teman. Teman perempuan dan teman laki-lakinya. Mereka teman satu komunitas sosial.

Sontak aku mengerutkan dahi,
Dia tidak capek setelah seharian ini?

Kuantar dia pulang, ke parkiran motor depan rumahku. Ada sebuah lapangan luas di area rumahku dan ya, dia memarkirkan dekat sana. Sembari dia mengenakan jaket, aku bertanya,
"Tidak apa-apa, berangkat lagi? Tidak capek?"

Tidak, dia bilang.

Aku mengeluhkan. Ini sudah larut dan pukul 10 juga. Pernikahan hari esok di Pemalang harus ia hadiri, katanya, bersama dua teman komunitasnya ini. Aku menekankan, jangan berangkat malam ini. Pemalang itu jauh.

"Aku gak bisa nolak permintaan kak Susi."

Bumppp!

Aku yang tidak pernah cemburuan dan cenderung cuek, jadi menaruh perhatian pada kata-kata itu. Kemudian dia berlalu dan pulang.

Ini kisah terakhir di tahun 2017 bersamanya dan aku mengakhiri tahun dengan mencoba positif atasnya, atas kita.

Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Titik Balik

Pengorbanan Shilla

Kopi Pahit