Aku

Aku, di tahun 2018.

Sekarang ini aku sudah duduk di semester akhir di sebuah perguruan tinggi swasta, jurusan Sastra Indonesia. Banyak yang berubah setelah aku masuk ke bangku kuliah. Aku lebih punya banyak kegiatan, punya banyak sibuk, punya banyak teman baru, julukan baru, dan kekuatan yang baru untuk menghadapi kamu, manusia, yang kadang menyebalkan. Hehe.

Aku udah berhijab. Dua yang tahun yang lalu, bermula ketika harus memutuskan pergi ke Bali. Saat itu aku diharuskan pergi dengan memakai kerudung, karena keluarga teman tanteku sangat alim sekali. Sampai akhirnya, ah, aku coba, siapa tahu rejekiku makin banyak setelah berkerudung.

Dan kalian tahu apa?

Selama aku di Bali, ada yang sedikit berubah. Bukan bicaraku tapi sikapku. Lebih teratur dan semakin pandai memahami situasi kondisi. Saat itu aku lumayan lama liburan di Bali, sekitar sebulanan. Sampai-sampai tak mau pulang rasanya. Ah, sampai detik ini pun, Bali masih menjadi destinasi tempat berlibur paling kucinta, kurindu, dan kudambakan.

Sebulan di Bali, aku berhubungan kembali dengan teman-teman lamaku. Kak Yudha, kakak seniorku sewaktu SMP. Dia gembul sekali. Wajahnya bulat meski tetap tampan. Kala itu aku selipkan komentar di media sosialnya, Path, kalau tidak salah. Kukira dia tak akan ingat tentang aku. Ternyata, hehe, tak mungkin tak ingat kau, katanya cuma aku satu-satunya yang berani bilang, "Kak, aku sayang kamu dari dulu,  dari kelas dua SMP. Maaf ya, tapi aku serius."

Aku? Aku tak pernah main-main soal rasa. Bukan impulsif yang begitu kagum lantas mendekati dan langsung menyatakan perasaan. Bukan. Bukan seperti itu. Aku dekat dengan dia tiga tahun, sampai awal SMK-lah. Sejauh yang aku rasa, Yudha adalah sosok yang menyenangkan meski pun adik perempuan (adik senior yang dekat dengannya banyak) tapi ia selalu ingat aku. Sampai detik ini, kami pun masih berhubungan meski tidak intens. Duh, aku jadi rindu jalan bareng dia.

Selain kak Yudha, ada salah seorang lagi. Kurasa dia centil dan mempunyai percaya diri akut pada setiap orang yang dia temui kecuali teman-temanku. Namanya, tak usahlah kusebutkan namanya. Yang jelas aku suka menyebutnya dengan panggilan yang beda dari yang lain.

Cowok ini pernah memberiku pertanyaan yang agak sedikit berulang di tahun 2017, katanya kenapa aku memilihnya dan kenapa kenapa lain tentang perasaanku padanya. Aku mau bilang dialah cowok pertamaku, aku tak mungkin bisa berkata demikian. Karena pasti bohong adanya. Dia sosok teman yang baik, baik sikapnya. Baik sekali. Bahkan tak hanya padaku, semua orang yang ditemuinya. Rasa percaya dirinya yang akutnya itulah, yang bisa membuat dia terkesan supel tiap pertama kali ia bertemu orang kecuali teman-temanku dan keluargaku. Entah. Aku tak tahu kenapa. Katanya dia malu. Mungkin ini pertama kalinya dia kenalan dengan keluarga pacarnya, atau apa. Aku tak yakin. Tapi itulah yang terjadi.

Dia mahasiswa yang amat sibuk dengan urusan organisasinya. Sampai-sampai kurasa tak ada waktu untuknya pulang ke rumah karena sebagian waktunya ia habiskan untuk organisasi tersebut. Ladang favoritnya mencari ilmu agama. Aku tak menyalahinya karena minatnya tercurah amat besar di sana. Tapi dia yang seperti itu membuat pribadinya terlihat sangat sibuk. Pertemuan kita sedikit sekali dihabiskan untuk mengobrol malah kurasa aku sering memerhatikan dia bermain ponsel timbang kita yang menghabiskan waktu untuk ngobrol. Aku yang pendiam jadi amat pendiam rasanya.

Kadang kala, aku merasa tidak cocok dengannya. Pekerjaan kami beda. Kutahu dia tak suka hobiku yang sangat menguras banyak uang ini: nonton. Aku merasa dia harus menemukan 'pekerjaan' yang lebih cocok untuknya. Aku mau dia lebih baik lagi dari sebelumnya. Aku tak butuh dia garang, bandel, atau nakal seperti bad boy kesukaanku, atau temannya yang aku suka.

Aku hanya butuh dia pengertian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Titik Balik

Pengorbanan Shilla

Kopi Pahit